Tuesday, August 9, 2011

JUAL GADAI Sawah

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Gadai
Jual Gadai (Indonesia), menggadai (Minangkabau), adol sende (Jawa), ngajual akad (sunda), yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
B. Hak Pembeli Gadai
Dengan penerimaan tanah itu si pembeli gadai berhak:
a. Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik, dengan pembatasan:
1) Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain;
2) Tidak boleh menyewakannya untuk lebih dari satu musim lamanya (jual tahunan)
b. Mengoperkan gadai (doorverpanden) ataupun menggadaikan kembali/menggadaikan di bawah harga (onderverpanden) tanah tersebut kepada orang lain, jika ia sangat memerlukan uang, sebab ia tidak dapat memaksa si penjual gadai semula untuk menebus tanahnya;
c. Mengadakan perjanjian bagi hasil/belah pinang/paruh hasil tanam/maro dan sejenis itu.
C. Sifat Hubungan Gadai
a. Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai;
b. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya;
c. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh si penjual gadai sendiri, dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap menjadi obyek gadai dan sekaligus obyek sewa pula).
D. Kemungkinan Mengoperkan Gadai dan Menggadaikan Kembali
a. Setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat mengoperkan gadai itu kepada pihak ketiga, yaitu: menyerahkan tanah tersebut kepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai. Dengan demikian terjadilah pergantian subyek didalam perutangan yang sama: hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai yang baru.
b. Tanpa setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai menggadaikan kembali tanah itu kepada pihak ketiga, dengan janji: ia sewaktu-waktu dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga tersebut.
Dengan demikian terdapat 2 perutangan :
1) Antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula (terang-terangan);
2) Antara pembeli semula yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi).
Jika pada suatu ketika penjual gadai semula menebus tanahnya, maka pembeli gadai semula cepat-cepat menebusnya dari pembeli gadai yang baru. Dengan demikian tanah yang menjadi obyek transaksi rangkap itu kembali dengan aman kepada pemiliknya.
E. Perbandingan dengan PAND menurut Burgerlijk Wetboek
a. Persamaan:
1) Sama-sama merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal balik di lapangan hukum harta kekayaan
2) Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan si pemegang gadai (pand).
b. Perbedaan
1) Transaksi gadai merupakam transaksi jual yang mandiri, dengan tanah sebagai obyeknya.
Pand merupakan perjanjian accessoir (tambahan) pada perjanjian utang uang selaku perjanjian principaalnnya, dengan benda bergerak yang berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat piutang kepada si pembawa, - atas nama, - atas unjuk) selaku tanggungan atau jaminan. Menurut BW, benda tak bergerak merupakan obyek perjanjian accessoir yang disebut hypotheek.
2) Pembeli gadai berhak memanfaatkan dan memetik hasil dari benda gadainya: sedangkan kekuasaan pemegang atau penerima pand tidak meliputi hak memakai, memungut hasil, menyewakannya dan sebagainya.
3) Pembeli gadai tidak bisa memaksa penjual gadai untuk menebus obyek transaksinya. Sebaliknya setiap waktu benda itu ditebus, ia harus mengembalikannya. Meskipun transaksi itu diberi batas waktu tertentu, namun hak menebus si penjual gadai itu tidak lenyap karena daluwarsa; jadi si pembeli gadai tidak dapat memiliki benda tersebut berdasarkan verjaring itu. Penyelesaian selanjutnya dapat diserahkan kepada Pengadilan.
Pemberi pand harus melunasi hutangnya dalam waktu yang telah ditetapkan bersama. Jika ia lalai dalam hal itu, si pemegang pand tidak tidak wenang mendaku benda jaminan; namun selaku kreditur, pihak terakhir ini ipso iure dapat melelang benda pand itu atas kekuasaannya sendiri, untuk memperoleh pelunasan dari piutangnya.
F. Integrasi Gadai ke dalam Jurisdiksi UUPA
Sesudah UUPA berlaku, soal gadai ini diatur dalam PERPU No. 56 tahun 1960 tentang “PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN”.
PERPU itu berisi pembatasan terhadap lamanya waktu menggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tersebut. Sebab praktik menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu.
Dalam pasal 7 PERPU tersebut ditentukan bahwa tanah yang sudah digadaikan selama tujuh tahun atau lebih, harus dikembalikan kepada pemilik tanah atau penjual gadai, tanpa ada kewajiban baginya untuk membayar uang tebusan. Pengembalian tanah itu dilakukan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada di tanah itu selesai dipetik hasilnya.
Mengenai gadai yang berlangsung kurang dari 7 tahun, si pemilik tanah dapat memintanya kembali setiap waktu setelah selesai pemetikan hasil tanaman yang ada di situ, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung sesuai rumus :
(7+1/2) – waktu berlangsungnya gadai x uang gadai
7
Pelanggaran terhadap ketentuan itu diberi sanksi berupa pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.,
G. Penilaian Uang Gadai Sekarang
Karena nilai uang rupiah mengalami perubahan. Bukan saja rupiah yang dahulu dengan rupiah yang sekarang, tetapi juga rupiah jaman merdeka dengan rupiah jaman kolonial, maka mengenai uang gadai, MAHKAMAH AGUNG INDONESIA telah menetapkan dalam beberapa keputusan, bahwa risiko dari nilai perubahan uang rupiah itu ditanggung separo-separo oleh kedua belah pihak (penjual gadai dan pembeli gadai).
Untuk lebih jelasnya, di sini disebutkan keputusan MAHKAMAH AGUNG INDONESIA tanggal 22 - 5 - 1957 mengenai penilaian tersebut sebagai berikut:
“Dalam hal ada perbedaan besar nilai uang yang beredar pada waktu sebidang tanah digadaikan dan pada waktu akan ditebus, adalah sesuai dengan rasa keadilan apabila kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu”.

ANALISIS

A. Jual Gadai Sawah di desa Bulu kecamatan Balen
Desa Bulu Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah yang masih banyak terdapat hamparan sawah milik petani. Di desa tersebut masih berlaku hukum adat dalam hal transaksi jual gadai dengan obyek sawah. Hingga sekarang masih banyak petani yang melakukan transaksi tersebut.
Dalam hal transaksi jual gadai, di desa Bulu, salah satu orang yang gemar membeli sawah dengan sistem jual gadai bernama Sukardi. Menurut sumber yang dipercaya, dia sering melakukan transaksi itu dengan para petani di desa bahkan dengan petani desa tetangga sebut saja salah satu penjualnya bernama H. Suwoto. Dia rela menggadaikan sawahnya demi mencapai impian untuk mendirikan rumah idaman, sistem jual gadai tersebut dianggap alternatif yang tepat dibanding dengan transaksi yang lain. Karena Suwoto merasa tidak kehilangan hak milik atas sawah yang digadaikannya tersebut karena sewaktu-waktu dia bisa menebusnya kembali.
Berpatokan pada keterangan sebelumnya, bahwa dalam transaksi jual gadai terdapat kemungkinan untuk mengoper gadai dan menggadaikan kembali, di desa Bulu masih belum bisa ditemui kasus yang seperti itu, kebanyakan dari mereka yang membeli sawah gadai merupakan orang-orang yang punya uang banyak, namun tida mempunyai lahan untuk digarap. Dalam hukum adat, jual gadai mempunyai sifat salah satunya bahwa transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengan jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai, jadi lamanya sebidang sawah untuk dimanfaatkan hasilnya oleh pembeli gadai tidak bisa ditentukan dengan waktu tertentu, karena pengembalian tanah kepada si penjual gadai tergantung pada kesanggupan si penjual gadai untuk mengembalikan uang milik si pembeli gadai.
Sehingga muncullah PERPU No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang intinya berisi tentang pembatasan lamanya waktu menggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi tanah tersebut. Namun alasan itu tidak bisa menjadi patokan, karena dalam kenyataannya bisa juga berlaku sebaliknya, dengan adanya PERPU tersebut si penjual gadai bisa sewenang-wenang untuk mengambil kembali tanah yang telah digadaikannya. Di desa Bulu sekitar tahun 60-an dulu pernah terjadi kasus seperti itu. Ridho merupakan orang yang tergolong kaya, namun suatu ketika dia menjual gadai sawahnya kepada Rajab yang tergolong orang sederhana. Saat transaksi dilakukan, PERPU tersebut belum diberlakukan, pada saat PERPU tersebut diberlakukan Rajab baru menggarap sawah gadai itu 3 tahun, dengan kekuatan hukum dari PERPU itu Ridho mengambil paksa kembali tanah yang telah digadaikan itu sehingga membuat Rajab merasa dirugikan, hal itu menyebabkan si pembeli gadai jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Namun, untuk masa sekarang sepertinya PERPU itu seakan-akan tidak berlaku, masyarakat rata-rata masih memegang adat yang berlaku tanpa terpengaruh oleh Undang-undang yang berlaku.
Jual gadai sawah dilihat dari sudut agama, tokoh masyarakat di daerah Bulu menganggap bahwa transaksi tersebut salah besar menurut Islam, dengan alasan karena, dalam Islam transaksi gadai memiliki syarat-syarat yang salah satunya adalah bahwa si penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan untuk memperoleh keuntungan dari benda tersebut. Dan tentang lamanya waktu menggadaikan, dalam Islam ada aturannya.
Namun banyak juga para petani di desa Bulu yang enggan melakukan transaksi jual gadai, mereka mengatakan bahwa daripada menjual gadai sawah lebih baik menjual tahunan sawah mereka. Dengan alasan, jika jual gadai mereka terbebani oleh hutang dan tetap harus mencari cara untuk menebus sawah agar tidak mengalami kerugian yang terlalu banyak. Karena dalam jual gadai, hasil sawah yang digadaikan yang digarap oleh si pembeli gadai tidak dihitung sebagai bagian pelunasan hutang, melainkan bunga. Sedangkan jika jual tahunan, mereka bisa tenang karena sawah mereka menjadi milik orang lain hanya untuk sementara dan itupun dibatasi hanya untuk 1 tahun. Sistem jual tahunan ini mirip dengan sistem sewa secara umum. Dan transaksi tersebut dianggap lebih aman dibanding jual gadai.
Dari sudut pandang penulis sendiri transaksi jual gadai merupakan transaksi yang diperbolehkan menurut hukum adat, selain itu walaupun dari segi agama, transaksi tersebut dianggap menyalahi aturan agama namun dalam jual gadai ada unsur saling rela, baik dari sisi si penjual gadai maupun si pembeli gadai. Kesimpulan seperti itu dibuat, karena melihat fakta yang ada di lapangan. Meskipun terdapat alternatif lain selain jual gadai, mereka tetap melakukan transaksi tersebut.

0 comments:

Post a Comment